Keputusan pemerintah Indonesia untuk menerapkan kebijakan bebas visa bersama dengan Afrika Selatan menandai babak baru dalam diplomasi dan kerja sama ekonomi bilateral. Pengumuman ini disampaikan Wapres Gibran Rakabuming Raka dalam Indonesia-Afrika CEO Forum di Johannesburg, Afrika Selatan, pada 21 November 2025. Secara simbolis, kebijakan ini merupakan buah nyata dari pertemuan Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Matamela Cyril Ramaphosa beberapa minggu sebelumnya di Jakarta.
Di satu sisi, kebijakan bebas visa dapat memperkuat hubungan diplomatik, mempermudah mobilitas warga, dan membuka peluang investasi. Di sisi lain, implementasinya menuntut kesiapan regulasi dan tata kelola yang matang agar tidak menimbulkan risiko keamanan, administrasi, dan ekonomi. Dengan perspektif analisis kebijakan publik, tulisan ini mengupas potensi, tantangan, dan implikasi kebijakan bebas visa bagi Indonesia.
Antara Diplomasi dan RegulasiDalam analisis kebijakan publik, tahap pertama adalah mengidentifikasi masalah yang ingin dipecahkan. Kebijakan bebas visa ini dilatarbelakangi oleh beberapa tujuan:Memperkuat hubungan diplomatik dan ekonomi antara Indonesia dan Afrika Selatan. Kebijakan ini menjadi sinyal politik yang menunjukkan Indonesia membuka diri bagi investasi dan kerjasama regional di Afrika.Memperluas mobilitas masyarakat dan pelaku bisnis, termasuk investor dan pelaku UMKM yang ingin masuk ke pasar Afrika dan sebaliknya.Menjawab arahan presiden untuk percepatan implementasi perjanjian kerja sama bilateral, termasuk dalam bidang pertanian, energi, dan industri strategis.
Namun, kebijakan ini juga menimbulkan sejumlah isu yang perlu dianalisis yaitu kesiapan regulasi imigrasi, potensi risiko keamanan, kesiapan sistem administrasi, serta dampaknya terhadap arus wisatawan dan tenaga kerja asing.Evaluasi kebijakan publik mencakup empat dimensi utama: efektivitas, efisiensi, kecukupan, dan koherensi.










